On Having Another Child

Monday, September 11, 2017


Beberapa waktu lalu, saat di acara pemakaman Popo, aku bertemu dengan banyak teman lama, termasuk beberapa kerabat dekat orangtua. Since I married and moved with Andreas, I rarely come to Jakarta except every Sunday for church, so these people that I met kinda surprised seeing me with a toddler already. Ya, nggak kaget-kaget amat, karena hari gini mereka bisa 'catching-up' dengan hidup orang lain melalui sosial media, kan. Kagetnya karena waktu berjalan begitu cepat, tahu-tahu anaknya Jane aja udah gede. 

When we were in conversation, they asked me how I raised my kid—do I have a nanny or helper at home, do I still go to work, how life after being a mom, and blah blah. Terus, datanglah pertanyaan klasik nan 'penting', "Kapan punya anak kedua?". 

Kalau pertanyaan ini ditanyakan waktu masa-masa baru lahiran atau waktu Josh susah makan, aku pasti akan langsung jawab, "Entar dulu, deh." 

I was still little bit traumatized about delivering a baby. After hours of hours enduring the contraction pain, I failed to deliver my baby in normal way (normal as in lahiran normal). I was still a bit upset whenever think about it, namun nggak berarti mengurangi rasa syukur dengan kondisi sehat walafiat seperti hari ini. Untuk anak kedua, nanti aja deh tunggu 4-5 tahun lagi. 

But, suddenly I've been thinking on having a second child. Like, really think about it.

Minggu lalu, Josh sempat nggak enak badan lagi setelah ikut vaksinasi rutin di usia 12 bulan. Badannya sumeng, rewel dan gongnya sampai muntah. Sampai hari ini aku nggak yakin, muntah gara-gara vaksin atau emang lagi masuk angin aja hari itu. Anaknya kelihatan mual sekali, muntahnya dikit-dikit, dan sukses bikin nggak nafsu makan seharian. 

And as expected when baby was ill, mommy was very exhausted too. 

Malam itu, baik aku dan Josh sama-sama nggak bisa tidur. Baru pules beberapa menit, Josh gelisah dan rewel, berusaha untuk muntah tapi nggak bisa, habis itu mencoba untuk tidur lagi sambil aku tepok-tepok. Begitu terus, entah repeat sampai berapa kali. Malam itu Andreas terpaksa berangkat komsel sendiri, dan entah kenapa malam itu aku dalam posisi yang bingung dan lelah banget. Padahal waktu Josh sakit roseola selama seminggu, I was pretty fine. 

Tadinya aku nggak mau ganggu Andreas, but I couldn't stand this feeling alone so I texted him about Josh's condition.

Keesokan harinya, puji Tuhan Josh udah membaik, udah nggak muntah lagi, tapi kondisinya itu membuat mamanya berpikir... BOK, NGURUS ANAK CAPEK BANGET YA. 

Nggak tahu kenapa pengalaman sehari itu bikin aku ngerasa capek berkali lipat. Lebih herannya lagi, malah bikin aku berpikir untuk langsung punya anak kedua aja. Kalau capeknya kayak gini, mendingan sekalian aja, deh. Kalau jaraknya kejauhan, rasanya males aja harus belajar dari awal lagi. Dan kalau langsung hamil anak kedua, menyapih Josh tahun depan mungkin jadi lebih gampang, bisa pakai alasan "Kamu udah gede, nenennya buat dedek aja, ya". 

This thought feels so right, I should talk to Andreas and probably we could start to plan another baby immediately.

Lalu, apakah gayung bersambut? 

The night when I delivered this brilliant idea to the husband, he gave me a short-reply with smile, "Entar dulu, ya. Aku mau puasin sayang-sayangan sama Josh." Then, he was chasing back our son, and Josh was laughing and screaming out loud when his daddy successfully grabbed and kissed him on cheeks. 

I was smiling too when saw that beautiful daddy-son moment. 

A day later, Andreas gave me another response why he doesn't agree about having another child.

Kami memang sedang berencana satu hal yang mungkin akan membawa perubahan cukup besar di keluarga kecil kami. Andreas juga bilang, akan lebih kalau kami bisa 'nafas' sejenak, khususnya aku. Andreas tahu aku punya rencana pribadi sendiri yang ingin dicapai. Mungkin dengan menunda beberapa tahun untuk anak kedua, bisa memberikan kesempatan untuk mengerjakan rencana tersebut. 

Punya anak kedua secepatnya mungkin bukan ide yang baik (untuk saat ini). Mungkin juga benar kata Andreas, kami punya waktu beberapa tahun untuk bebenah diri kembali, sebelum kami berdua sama-sama siap untuk anak kedua. Bebenah diri, ya, maksudnya give ourselves a break, mungkin bisa ada waktu untuk pergi pacaran lagi berdua, tanpa dibuntutin bocah. Apalagi Josh masih nyusu banget, jadi nggak ada, tuh, skenario ninggalin dia lama-lama.

Tapi tetap, ya, kami berdua nggak menutup kemungkinan dengan rencana Tuhan sendiri. Namanya juga manusia boleh berencana, kami juga bisa rikues ke Tuhan untuk menunda anak kedua, tapi kalau Tuhan punya rencana lain—yang jauh lebih indah, kami juga nggak mungkin nolak, toh (: 

As for now, we try to live in the present and enjoy with the three of us. Also being thankful to God for what we have now, is more than enough.

7 comments:

  1. aku malah begitu tau capenya kayak gini langsung mikir, yang kedua nanti dulu deh, biarin nanti cape lagi, yang penting hati, jiwa, dan raga uda siap.. karena aku tau batas kemampuan aku sampe dimana, kayaknya ga akan sanggup ngurus dua anak... iya kalo anak keduanya kalem, kalo sama2 suka petakilan kan ngos2an hahahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, setuju banget ci dengan pemikiran "kita yang tahu kemampuan diri sendiri". Daripada *amit-amit* jadi gila beneran, mendingan tahan dulu untuk hamil episode berikutnya hahaha

      Delete
  2. mau nambah anak emang pasti banyak pertimbangannya ya... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya banget ko, kalau kata orang anak kedua itu lebih ke intellectual decision ya, lebih banyak mikirnya daripada hamil pertama (: Btw, Andrew sama Emma kayaknya beda usianya cukup jauh ya?

      Delete
  3. Haduh, Josh masih terlalu kecil, Jane untuk pertimbangan nambah anak. Tungguin deh sampai Josh udah usia 2.5 atau 3 tahun, mgkn baru bisa kepingin hehe. Tapi nomer satu sih km harus punya intention dulu mau pny anak brapa. Kalau cici dulu memang pengen pny anak lebih dari satu. Soal selisihnya brapa lama, itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Nah jadi begitu ready, baru deh usaha lagi hehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku sama suami udah sepakat mau nambah anak satu lagi, sih, ci. Cuma gara-gara kecapekan kemaren itu malah pengen nambah anak biar sekalian capeknya. Padahal kita berdua emang pengennya jarak 4-5 tahun, kayak Abby sama Matilda gitu, jadi kakanya udah ngerti dan bisa take care dedeknya.

      Iya, sih, yang penting sama-sama siap aja, ya.. dan pastinya tetap berdoa. Thank you cici!

      Delete
  4. Seru dan lucu banget ya....
    kenapa berencana menunda momongan lagi. ikut program pemerintah ya "dua anak cukup"? :)

    ReplyDelete