Career After College

Friday, June 16, 2017


Ngomongin soal karir setelah kuliah, rasanya kok udah agak basi, yah. Cuma rasanya ada sesuatu yang 'mendorong' aku untuk nulis tentang ini.

Aku lulus kuliah udah 4 tahun yang lalu. Memori tentang karir yang aku jalani seblum akhirnya menikah, masih sangat menempel di kepala ini. And thanks to my diary (yes, aku masih nulis diari!), beberapa hal penting yang aku tulis, akan aku bagikan di sini. 

Tanpa ada maksud tertentu, aku berharap—seperti biasa—tulisan ini bisa menginspirasi beberapa pembaca yang aku tahu masih ada yang kuliah atau usianya di awal 20-an. Buat yang udah menikah dan emak-emak, dijadikan pengetahuan umum tentang gue aja, ya. HAHAHA.

Mari kita mulai curcol tulisan panjang ini.


***

Di tanah airku Indonesia, karir setelah kuliah itu dibagi menjadi tiga pilihan: kerja kantoran, bisnis sendiri atau lanjut usaha orangtua.

Pilihan pertama adalah yang paling normal dan 'aman'. Pilihan kedua, sounds cool, tapi nggak banyak orang juga yang berani ambil risiko karena nggak punya pengalaman. Pilihan yang terakhir... nah, ini, sih, biasanya terjadi sama keluarga keturunan Chinese (termasuk suamiku, aku minta dia menceritakan dikit tentang ini nanti di bawah, ya!). Bisnis keluarga Chinese umumnya berupa toko. Toko kelontong, toko grosiran, toko eceran, toko elektronik, dll. Ada juga yang berupa pabrik atau kantoran, tapi jarang aku temukan. Biasanya ortu keluarga Tionghoa tuh pengen anaknya bisa melanjutkan bisnis mereka sampai ke cucu cicit dan seterusnya.

Intinya, yang paling benar di budaya Indonesia, you have to jump right away into corporate world after college. Jadi nggak ada tuh yang lulus kuliah, jadi influencer atau Youtuber penuh waktu. Itu sangat tidak ideal. 

Let me tell you a secret of mine. After college, I never took a "real job" like others or my friends did.

Setelah lulus, aku langsung terbang ke Bali karena orangtuaku pindah. Saat itu yang menetap di Bali hanya aku, Mama dan adikku yang masih kuliah kedokteran. Papa masih harus bekerja di Jakarta, sementara adikku yang kecil masih menamatkan SD-nya. Kalau mengikuti agenda awal harusnya aku menetap di Jakarta aja, tapi aku milih untuk ke Bali karena... I want something new! Aku pikir Bali akan 'menawarkan' sesuatu yang berbeda untuk karir.

Selain itu, duhhhh... it's freakin' Bali!

Bulan pertama di Bali, aku bener-bener mager banget. Ciri khas fresh graduate... eh, atau gue ajah kali, ye. Masih santai banget, nggak mikirin harus bikin CV yang wow dan mulai melamar pekerjaan ke sana ke mari. Aku pikir dengan gelar yang aku dapat di luar negeri dan skill bahasa asing yang aku punya, melamar pekerjaan di sebuah pulau wisata terkenal harusnya bukan menjadi suatu masalah. 

Sampai suatu hari papa dan mama mulai gelisah ngeliat anak cewek paling gede di rumah ini kok masih asik goleran di rumah. Then, they begun ask the question, "Have you got a job already? Start applying!".

Akhirnya aku mengumpulkan niat untuk mencoba apply CV ke beberapa perusahaan, mostly hotel-hotel berbintang dan beberapa sekolah internasional. Major yang kuambil saat kuliah adalah Chinese Education, so applying a job as a teacher itu paling normal. But, deep down, I don't really want to be a teacher at school. And honestly, I really didn't know what I want for my career that time. Sebentar pengen kerja ini, sebentar pengen kerja itu. Perhaps, this is what so-called I was dealing with... a quarter-life crisis. 

Because I wanted everything at once, universe took me nowhere.

Aku berhenti untuk kirim CV dan berpikir apa yang bisa aku lakukan supaya bisa lepas dari status pengangguran.

Sebulan kemudian, Mama iseng membuat risoles dari resep seorang teman, lalu dimodifikasi oleh Mama sendiri. Ternyata rasanya enak, bukan sekedar risoles yang digoreng biasa. Mama mencoba buat beberapa dengan rasa yang berbeda, lalu kami memberikan tester ke beberapa teman. Respon mereka di luar dugaan kami. Menurut mereka, risoles buatan Mama sangat enak dan ada ciri khasnya.

Ide bisnis pun muncul begitu saja. Mama langsung tertarik untuk menjual risoles buatannya. Tapi Mama nggak mau menjual risoles yang basa-biasa aja, Mama pengen membuat branding untuk risolesnya.

Long story short, bulan Oktober lahirlah bisnis keluarga yang kami namakan Jesrisoles Bali. Aku memutuskan untuk bantu Mama membangun bisnis ini dari 0. Aku nggak tega liat Mama yang jauh-jauh pindah ke sebuah tempat asing dan berusaha untuk bertahan hidup, menjalankan bisnisnya sendirian. So, aku menawarkan diri untuk membantu dulu di awal, setelah itu aku akan consider untuk cari pekerjaan lagi di luar.

Just in case you're wondering, aku digaji oleh Mamaku sendiri di awal kami memulai bisnis ini. Tapi Mama nggak bisa janji bisa memberikan gaji tepat waktu. Aku ngerti. Namanya juga baru mulai usaha, keuntungan pasti belum terlihat. Daripada Mama hire karyawan di bagian produksi, lebih baik aku yang kerjakan.

Jobdesc utamaku adalah mempromosikan Jesrisoles di sosmed—foto cantik dan mengaplotnya serta nulis caption. Yang kedua adalah mencari klien dengan menelpon perusahaan dan hotel sebanyak mungkin untuk menawarkan produk kami. Setiap hari juga aku punya list hotel yang berbeda. Hari ini telepon hotel A-E, besok hotel F-J dan seterusnya.

One of my jobdesc. Guess what am I doing?

I hate to make phone calls.

The first phone call that I made was terrible. My voice was shaking and I said too much "ummm..." or "err...". Aku harus berlatih berulang-ulang apa yang akan aku sampaikan dan menjelaskan produk kami, sampai akhirnya calon klien setuju untuk meet-up, mencoba tester risoles dan membuat order pada kami. This is a thing that I never learnt at school or college.

Hampir setiap hari juga aku dan Mama turun ke lapangan untuk menawarkan langsung sampel makanan kami. Awalnya, aku ngerasa malu banget ketemu dengan orang asing, membawa tester makanan dan berharap bisa mendapat respon baik dari calon klien. Sama seperti membuat panggilan telepon, aku pun harus berlatih berulang-ulang di depan kaca supaya bisa mempresentasikan dengan baik.
 
"Hey, it's just risoles, why so serious?" you probably asked.

It's NOT just risoles, it's my job, and I take my job seriously.  

Ada satu cerita yang harus aku masukkan dalam tulisan ini.

Suatu hari, aku membuat janji temu dengan seorang chef di salah satu business hotel di kawasan Kuta. Ini pertama kalinya kami akan bertemu dengan chef hotel, karena biasanya kami cukup bertemu dengan bagian purchasing untuk membawa tester, kemudian mereka yang akan meneruskannya ke chef.

Tibalah kami di ruangan si chef ini dan duduk menunggu chef datang.

Saat chef datang, kepercayaan diriku agak kendor. Kenapa? Perawakannya hampir sama dengan Gordon Ramsay dan cara bicaranya... yaoloh... I assumed he ate too much cabe rawit, alias PEDES banget!

Tutur kata pedesnya itu langsung terdengar begitu beliau menyapa kami. Belum lagi gaya bossy-nya yang nggak nahanin banget. Tester yang kami bawa sama sekali nggak disentuh oleh beliau. Dan bukannya membahas kerjasama, beliau malah memberikan kami lecture dan 'bercerita' tentang pencapaiannya di dunia kuliner, sampai punya segmen sendiri di radio lokal. Serius deh, chef. Kami cuma butuh Anda makan tester yang kami bawa, kasih review dan memutuskan untuk memberikan kami order atau nggak.

Perasaanku waktu itu campur aduk antara kesel, malu, pengen marah, sedih. Kok bisa-bisanya ada manusia kayak gini, sih?

Karena nggak betah lama-lama dan menyadari raut wajahku yang mulai berubah, Mama mengakhiri pembicaraan dan minta ijin untuk pamit. Si chef sempet-sempetnya lho suruh tester kami dibawa pulang aja! Mamaku cuma bilang, "Ditinggal aja, memang buat chef kok", lalu kami berlalu.

Waktu di mobil, perasaanku masih nggak enak banget, jadi aku diem aja. Tiba-tiba Mama ngomong, "Udah jangan dipikirin. Dunia kerja emang gitu, kadang-kadang ketemu orang yang aneh." Suara Mama terdengar santai banget. Di situ aku sadar, kerja 'bantu' Mama juga bisa memberikan pengalaman yang sebelumnya belum pernah aku alami. Aku belajar gimana cara bikin panggilan telepon resmi, nulis email yang sopan tuh gimana, sampai ketemu manusia 'ajaib'. Kerja kayak gini, nggak jelek-jelek amat, kok.

***
Suatu hari, setelah kurang lebih setengah tahun "bantu" Mama, tiba-tiba Papa telpon aku dari Jakarta. Jaman sekarang, yang namanya telepon itu udah menjadi suatu yang serius, and I knew Papa wanted to do "the talk". 

Inti pembicaraan telepon tersebut, Papa menyampaikan apa yang sebenarnya Mama pengen dari aku. Papa dapet 'laporan' dari Mama, kalau attitude kerjaku selama ini terlalu santai. Karena tau aku nggak akan digaji secara rutin seperti kerja di luar, aku mulai kerja sesuka hati. Kalau mau kerja ya kerja, kalau lagi nggak mood, ya tidur-tiduran aja di rumah. Hariku jadi nggak produktif dan aku nggak merasakan "kerja" sesungguhnya.

Mama berharap aku bisa bekerja di luar aja.

I could see Mama was happy that I helped her to build this business from scratch. But I could also see deep down she wanted me to go out and gain some experiences. I should know how to work with a real boss, not with a "Mama Boss". Well, that's true. Working with Mom is more like "helping" her. Everyone can see that I was helping her, not really doing a work. Plus, if I could get a job outside, I could earn money by my own.

So after got Papa's wake up call, I knew I have to do something. 

Awal tahun 2014, entah ide dari mana aku memutuskan untuk drop CV ke salah satu gerai Starbucks terdekat. Menjadi barista Starbucks udah menjadi mimpi sejak lama. I knew that time, applying job at Starbucks (as a barista) wouldn't pay me that much, but it just seemed so right.

And it didn't take long for me to get the job. A week later I got a phone call for first interview, again another interview till I attended the training week and became an official barista. 

My days as a barista were amazing. 

Aku tau nggak banyak orang yang bermimpi jadi barista, but this was a dream came true for me.

Aku enjoy banget dengan pekerjaanku. Jarang aku ngeluh tentang jobdesc kecuali tentang orang-orang yang terlibat dalam dunia kerjaku. Kalau nggak riweh sama sesama barista, ya sama atasan. Namanya juga kerja, ya, kan?

Selama bekerja penuh waktu di Starbucks, aku juga dapat tawaran kerja freelance sebagai tutor bahasa Mandarin di sebuah hotel. General manager hotel tersebut pengen para staff hotel fasih berbahasa Mandarin, karena kebanyakan tamu hotel mereka adalah Chinese. Mengajar di sekolahan memang bukan cita-citaku, tapi ngajar di hotel itu sesuatu yang baru dan seru! Aku terima tawaran tersebut dan setiap day off dari Starbucks, aku mengisi waktu dengan membuat kurikulum dan mengajar. Everyday I feel so energized so productive! 

Dan bagian yang paling menarik, di tahun yang sama aku selesai menulis buku pertamaku (masih bisa diorder di sini bagi yang berminat :D) dan menerbitkannya secara self publishing. Bukunya nggak best seller, nggak kejual sampai beratus-ratus kopi, but I felt so... so happy. I finally did finish something (I love). I finally made Papa and Mama proud.  

After I quited my barista job, I realized something important. Not only I gained experiences, my confidence was built too.


"Experience is what you get when you didn't get what you wanted. And experience is often the most valuable thing you have to offer."
-Professor Randy Pausch, The Last Lecture (as written on Marcella's first published book). 

Ternyata yang orang-orang bilang benar banget, pengalaman kerja di luar itu efeknya luar biasa. Aku nggak gemeteran lagi saat berkomunikasi dengan orang lain/orang penting lainnya. Phone call becomes an easy job. I'm also easily dealing with people behavior (Mau kenal dengan berbagai jenis manusia? Jadilah barista!). Yes, I didn't get pay that much at Starbucks, karena tujuan pertamaku memang bukan uang.

Karena pengalaman kerja barista tersebut juga aku bisa membuat tulisan yang sampai hari ini sukses memiliki views terbanyak sepanjang sejarah aku ngeblog. Ternyata banyak yang butuh informasi tentang pekerjaan ini dan banyak email yang masuk, baik menanyakan seputar pekerjaan ini atau hanya sekedar say thank you karena sudah menulis postingan tersebut.

Keluar dari Starbucks, aku melanjutkan pekerjaanku sebagai tutor Mandarin dan juga kembali terjun di Jesrisoles. Kali ini aku nggak merasa hanya 'membantu' Mama, I give my best and put efforts on my works. Sometimes I deal with marketing stuffs, sometimes I do the delivery order. I still earn my own money while helping the business. Sometimes I treat my family too for lunch or dinner.

***
Poin yang ingin kusampaikan dari cerita di atas, pilihan karir seperti apapun setelah lulus kuliah itu semuanya baik. Kerja kantoran/di luar nggak lebih baik daripada langsung berbisnis. Bangun usaha sendiri pun nggak lebih baik daripada lanjutin usaha orangtua, begitu juga sebaliknya. Setiap orang punya pandangan sendiri-sendiri. 

Kesannya tulisanku di atas, sih, pro untuk kerja di luar banget, ya. Tapi buatku sendiri, di situasi seperti waktu itu, kerja di luar adalah yang paling benar. Aku baru aja lulus, masih muda, nggak punya pengalaman kerja apa-apa, rekening tabungan di Indonesia juga 0, make sense banget kalau ortuku pengen aku kerja di luar. Nggak mungkin minta duit jajan terus ke ortu. Kalau pun mau usaha sendiri, online shop atau start-up tetap butuh modal. Mungkin cuma segilintir orang yang berhasil bangun bisnis sendiri tanpa kerja di luar lebih dulu. Nggak tau juga gimana caranya, but I personally couldn't do that. 

Soal pengalaman kerja, menurut Andreas pengalaman bisa didapat dari mana aja, bahkan kalau nggak kerja di luar. That's also very true. Cuma kembal lagi ke kondisi tiap orang, semua punya pilihan terbaiknya masing-masing.  

Nah, ini cerita dikit dari Andreas yang lulus kuliah langsung lanjutin usaha orangtua.
 
"Usaha ortuku udah berjalan sejak mereka merantau ke Bogor. Sejak aku kecil juga udah ngeliat dunia kerjaku ortuku kayak apa. Dulu rumah sama dengan gudang, barang jualan BANYAK banget. Aku udah terbiasa bantuin mereka ngepak barang, kadang-kadang ikut ke toko untuk bantu-bantu di sana. 

Sebelum kuliah, aku sendiri udah ngerasa lebih baik mengerjakan apa yang udah ada, yaitu usaha ortu. Selama kuliah, aku nggak pusing mikirin mau kerja di mana, mau karir seperti apa. Pokoknya setelah lulus yang aku tau aku harus pulang dan melanjutkan bisnis yang ada. 

Meneruskan usaha ortu mungkin dapet pandangan yang kurang keren dari beberapa orang. Padahal mereka nggak tau ngelanjutin usaha yang udah ada itu bukan sekedar "melanjutkan". Justru kalau ada anak muda yang melanjutkan usaha, akan ada inovasi baru. Anak muda juga lebih semangat dan tahan banting dengan tantangan yang ada. 
 
Selama meneruskan usaha ini, aku juga belajar banyak. Gimana caranya kenal kondisi market, gimana caranya pilih-pilih barang yang sesuai dengan pasaran, dll. Semuanya itu aku belajar otodidak.
 
Yang terakhir, nggak selalu anak yang melanjutkan usaha orangtua itu anak yang mau enaknya aja. Karena yang namanya kerja, tetaplah kerja, harus profesional."

Yang terakhir nih, kalau suatu hari Josh lulus kuliah dan akan terjun ke dunia kerja, we both will give one advice to him, do whatever he wants. As long as we know it's good, we'll support him. Kalau pun suatu hari nanti aku dan Andreas punya bisnis sendiri, kami tetap mengenalkan dunia bisnis tersebut. Tapi kami nggak akan maksa atau sengaja mengarahkan Josh untuk meneruskan atau membantu bisnis kami. Aku tau nggak banyak anak muda kayak Andreas, yang tertarik untuk meneruskan usaha orangtua. Kecuali kalau memang anaknya suka. Tapi aku tetap akan suruh dia cari pengalaman di luar, sih HAHAHA *emak-emak ideal*. 

Bokkk, panjang juga postingan ini. I just end it up here. Buat yang punya pandangan sendiri tentang topik ini, kolom komentar selalu terbuka untuk sharing. I would love to know your stories too (:
 
Semoga tulisannya menginspirasi Jumat siang ini, ya. Hang in there, folks. Liburan sebentar lagi!  
 
Stay awesome! 

5 comments:

  1. aku juga sama loh, waktu lulus kuliah kayaknya males banget bikin CV, apalagi kalo designer kan ga cuma kirim CV, tapi kudu kirim portfolio juga... uda bikin CV males, ngerapihin portfolio juga males hahahaha...

    tapi sekarang kerjaannya malah ga ada hubungannya sama sekali dengan design, tapi berhubungan dengan dunia anak2... jauh banget hahahaha...

    ReplyDelete
  2. Hahahah.. baru baca ini blog topik ini ci... yang memang bner banget pengalaman bisa di dapat dmana aja dan suka ko andreas bilang jika melanjutkan bukan hanya sekedar 'melanjutkan' tp harus juga berinovasi juga.. thanks tulisan nya ci.. bagus banget.. hahaah

    ReplyDelete
  3. Tahu blog ini dari YouthManual yang ngebahas tentang pengalaman jadi barista, blognya menginspirasi banget ci :)

    ReplyDelete
  4. wow, mbak jane aku jadi dapet pov baru setelah membaca postingan yang sangat panjang ini hhe
    thank you udah sharing mbak
    kalo aku dulu kuliah semester akhir udah harus kerja sih mau nggak mau haha

    ReplyDelete
  5. ci, ortuku juga punya usaha toko hahah tipikal keturuan tionghoa ya ci 🤣 Tapi pas aku lulus, mama tuh nyuruh aku kerja dulu. Katanya cari pengalaman di tempat orang. Jangan langsung bantuin usaha orang tua. Eh pas uda kerja dan uda asik di tempat kerja, mama minta anaknya untuk ada yang nerusin usahanya 🤣 Terus kaya ga ada yang minat gitu karena aku dan adikku uda kerja masing-masing. Tapi pada akhirnya karena papa ga ada, adekku yang jadi terjun bantuin usaha mereka. Dan setuju sama suami cici. Kalo anak muda terjun di usaha orang tua itu akan memberikan inovasi yang baru. Sejak terjun bantu usaha orang tua, aku dan adikku (dibantu suamiku juga saat itu), langsung menerapkan sistem dalam usaha toko yang sebelumnya super duper konvensional banget ci hahaha Jadi lebih terstruktur dan terdokumentasi dengan baik aja sekarang hehe

    Terus, soal kerja dengan ga sepenuh hati emang keliatan ya ci hasilnya. Sampe akhirnya cici pun disentil oleh telpon papa cici. Emang ga salah ada tertulis kerjakanlah segala sesuatu seperti untuk Tuhan. Kalo setengah-setengah pasti dampak ke sekitarnya pun ga bagus.

    anyway thanks for the insight ci hehe

    ReplyDelete