Hidup Sederhana = Hidup Cukup

Wednesday, August 2, 2017


Beberapa hari yang lalu, aku baca sebuah tulisan blog post, yang ditulis oleh seorang Youtuber dan juga social influencer. Doi adalah orang Indonesia yang merantau di salah satu negara Eropa dan baru-baru ini meliris digital single di Spotify bareng pasangannya. Kita sebut aja doi dengan "GV" setelah dipikir semalam suntuk, aku memutuskan untuk reveal siapa si GV ini. Kayaknya sayang banget, deh, orang yang menginspirasi gue, tapi namanya gue anonimkan, hahaha. GV is... Gita Savitri

Sekilas tentang si GV ini, ya. 

Aku udah lama tahu tentang si GV gara-gara video tentang fakta studi di negara di mana ia tinggal saat ini. Dia juga suka ngevlog kesehariannya dan diunggah di platform Youtube. Selain vlogging, dia suka beropini tentang isu-isu sosial, politik maupun gaya hidup kekinian. Menurutku, pemikiran dia sangat terbuka dan cukup unik. Nggak heran followers-nya kebanyakan adek-adek gen z yang usianya di bawah 20 tahun. Si GV ini pun jadi "kakak panutan" mereka gitu, deh. 

Beberapa minggu yang lalu, si GV nulis postingan di blog pribadinya tentang kesederhanaan, karena sebelumnya di akun Twitter-nya sendiri mendadak 'diserbu' netizen karena dia ngetwit sesuatu yang disangka menyinyir pihak-pihak tertentu. Bunyi twitnya kira-kira kayak gini: "Liat orang yang pake barang head to toe harganya berjuta-juta, Bill Gates aja nggak gitu-gitu amat.". Mungkin konteks yang sedang dibicarakan lain dengan apa yang ditangkap netizen sekalian. 

Namun, harus kuakui isi twitnya memang menjadi bumerang, sih. 

Maksudnya, gimana? Nanti kita bahas lebih lanjut di bawah, ya. 

Tapi gara-gara ini membuat aku juga kepingin membahas topik serupa, tentang kesederhanaan. Sebenarnya, apa, sih, maksud dari kata "sederhana"?

Berikut definisi yang diberikan oleh KBBI: 

"Sederhana: (1) Bersahaja, tidak berlebih-lebihan. (2) Sedang (dalam arti pertengahan, tidak di atas, tidak di bawah). (3) Tidak banyak seluk-beluk. (4) Tidak banyak pernik, lugas."

Sejak kecil, aku selalu ditanamkan untuk hidup sederhana oleh kedua orangtua. Secara ekonomi, kami bukan dari orang berada, sedang-sedang aja. Kami tiga bersaudara selalu diajarkan untuk menerima dan bersyukur dengan apa yang sudah ada. Misalnya, hari itu di meja makan ada menu apa, ya makannya itu aja. Jangan ribet cari yang nggak ada, nikmati yang ada. 

Soal pakaian juga begitu, kami nggak pernah yang sengaja cari yang harganya di luar kemampuan kami. Pokoknya baju itu harus enak dipake, awet dan harganya pas di kantong aja. 

Tiba saatnya aku harus kuliah ke Guangzhou. Selama merantau di negeri orang, aku bertemu dengan teman-teman dari kalangan yang berbeda-beda. Biasanya aku lebih milih berteman dengan mereka yang setara dengan aku. Biar kalau ngobrol lebih nyambung, kalau hang out nggak bakal di tempat yang mahal-mahal banget. Tapi pada akhirnya, ya aku berteman dengan siapa aja dan pernah "mencicipi" gaya hidup teman yang berasal dari kalangan di atasku. Salah satu teman dari kalangan tersebut akan kuceritakan dikit di bawah ini.   

Cerita ini udah hampir sekitar lima tahun yang lalu. Detilnya burem-burem dikit, tapi ada satu momen dari cerita ini yang nggak pernah aku lupa.

Temanku ini dari keluarga yang cukup berada. She's not my closest friend, tapi aku senang banget tiap kali punya kesempatan untuk ngobrol bareng. She's obviously intelligent and I do admire her opinions and witty thoughts especially about life. 

Pernah suatu hari aku diajak makan di sebuah restoran Italia yang lokasinya nggak jauh dari tempat tinggalnya. Katanya restoran tersebut punya pizza yang enak. Btw, lokasi tempat tinggalnya ini salah satu kawasan elit. 

Sampai di restoran, aku agak kaget saat melihat harga menu yang terpampang. Wimak, sekali makan di sini ngabisin jatah makan aku seminggu di kantin kampus, nih! Aku cuma bisa pilih menu yang harganya paling murah, namun tetap ngenyangin. Kalo nggak sakit atiii udah mahal tapi nggak ngenyangin. 

Sambil nunggu pesanan datang, kami ngobrol. Temanku ini cerita kalau belakangan teman-teman kami yang lain menganggap dia punya gaya hidup yang mewah. 

"Jadi si A nanya celana jins gue ini beli di mana, gue jawab beli di Zara. Eh, terus dia langsung respon, 'Wah, mewah banget lo celana aja dari Zara'. Suer, gue bingung. Mewah gimana, sih. Gue terbiasa beli di Zara karena emang ukuran dan bahannya cocok di gue." 

Aku cuma bisa ketawa mendengarnya. Selama aku berteman dengan dia, aku nggak merasa dia mewah atau boros. Yes, her taste is slightly different than me. Like she loves to buy a pair of jeans from Zara and I don't. Perbedaan taste kami nggak membuat aku berpendapat kalau dia punya gaya hidup yang mewah (atau berlebihan).

Lagipula, dengan belanja di Zara dia juga nggak merasa kekurangan atau langsung bokek. Nah, beda dengan aku yang kalau habis beli dress di Zara, misalnya, bisa-bisa dua bulan ke depan nggak beli baju baru dulu. 

Kemudian pesanan kami datang, si teman lanjut bercerita. 

"Lo tahu nggak, sih, gue bisa hidup sampai hari ini tuh bukan karena gue banyak uang, tapi gue selalu diajarin kalau hidup ini, tuh, anugerah. Bisa makan enak kayak sekarang juga anugerah. Lagian nggak setiap hari juga kok gue makan di sini. Eh, btw, gue traktir, ya! Sekali-kali bagi berkat." 

Wah, aku langsung merinding di tempat. Alasan pertama, tau gitu gue pesen mahalan! HAHAHA *teman macam apa* 

Tapi sejujurnya, aku terpana dengan statement-nya bahwa hidup ini adalah anugerah, which is very trueeee!

Temanku ini mengajarkan life value yang sederhana, tapi sangat berarti. 

Berasal dari keluarga berada (dalam arti lo nggak pernah kekurangan), nggak berarti mempunyai gaya hidup yang serba berlebih, serba indah dan serba mahal. Poin terpenting di sini bahwa kita sadar kalau hidup ini anugerah, lebih dari pada itu adalah berkat. Alangkah indahnya berkat yang udah kita terima, bisa kita bagikan kembali dengan orang lain. Contohnya, temanku ini membagi berkatnya dengan mentraktir aku hahahaha.

Sampai hari ini, aku masih terus berusaha untuk hidup secukupnya. Apalagi setelah kenal dan menikah dengan suami yang juga menganut kesederhanaan. Wejangan dari suami yang bakal selalu inget, "Kalau penghasilan kita ada nambah, nggak berarti kebutuhan kita juga nambah." Lagi-lagi ini benar dan mengingatkan aku kembali karena aku tipe yang ada uang lebih dikit, langsung berhasrat untuk beli ini-itu *not proud*

Akan susah untuk menjadi sederhana kalau ngerasa apa-apa tuh nggak cukup. Karena pada dasarnya, manusia itu nggak pernah puas. 

Setuju nggak, sih, untuk belajar cukup itu susaaaah beneur. Kadang kalo mau beli barang, aku suka masih kepingin beli yang terbagus dan termahal, misalnya make-up. Sebenarnya, sih, alasan beli mahal karena kualitas pasti bagus. Padahal harga mahal belum tentu bagus juga. Misalnya, pengen beli maskara yang harganya 400an ribu. Namun, setelah dipikir-pikir, maskara yang harganya 100ribu pun memberikan hasil yang sama, ngapain repot-repot pengen beli yang mahal? 

Memang, sih, setiap orang punya standar hidup yang berbeda-beda. Kalau ada yang pengen beli maskara 400an ribu itu juga aku nggak berhak komentar, apalagi kalau dia memang mampu. Sama halnya waktu si GV ngetwit kayak gitu, mungkin maksudnya si orang yang pake barang head to toe harganya berjuta-juta itu lebih baik hidup sederhana aja kayak si Om Bill Gates. Tapi kita juga nggak tahu, kan, standar orang itu mungkin memang memakai barang-barang yang harganya berjuta-juta. Kita pun juga nggak tahu kalau pakaian yang dipake Om Bill Gates itu harganya berapa. Kalau ternyata blazer yang dipakai beliau harganya jutaan juga gimana? Apakah itu berlebihan juga? 

Kalian suka bingung nggak, sih, kalo baca artikel tentang miliarder dunia yang masih memilih hidup sederhana, seperti sebelum mereka sekaya ini? Kayak Mark Zuckerberg yang sebenarnya bisa aja belanja baju banyak-banyak ketimbang cuma pakai kaos abunya itu. Atau Kakek Warren Buffett yang sebenarnya bisa beli rumah banyak-banyak ketimbang tinggal di rumah lamanya selama 50 tahun lebih. Kalau liat mereka, rasanya malu aja sama diri sendiri. Punya uang lebih dikit maunya belanja dibanding beramal atau do good deeds. Punya rumah untuk berteduh aja kadang masih suka komplen kalo ini rumah mertua bukan rumah sendiri, padahal masih banyak orang di luar sana nggak punya tempat tinggal.

Pada intinya, jangan terlalu fokus dengan apa yang ada di dunia, deh. Apa yang bisa kita beli dengan uang semua sifatnya untuk kepuasan sementara. Batas kepuasan itu sendiri pun sampai di mana kita juga nggak pernah tahu. Hidup terlalu pendek kalau hanya untuk mengejar kepuasan pribadi. 

Hidup itu sendiri udah anugerah, like what my friend said. Lebih daripada itu adalah berkat. Aku juga belajar nggak harus nunggu kaya atau berlebih supaya bisa berbagi. Di saat aku merasa cukup dengan apa yang dipunya, aku udah 'kaya' *amennnn* (:


Thank you GV for inspiring me to write this blog post. Cuma pengen bilang semoga terus jadi anak muda yang menginspirasi, ya. Kadang gue nggak selalu sepaham dengan opini lo, tapi gue percaya semuanya bermaksud baik. Sukses selalu!

And also for a dear friend that I mentioned above, kalau kebetulan lo baca ini, gue doain hidup lo selalu penuh sukacita dan berkelimpahan, ya! You're the most humble person I've ever known! 

11 comments:

  1. Thank you Jane for sharing :) menyenangkan banget baca ini sore-sore. Memang susah sih untuk bergaya hidup sederhana, kadang ada social pressure juga yang kebanyakan datang dari sosmed. Tapi aku selalu ingat, sosmed/uang/materi itu bukan segalanya. Aku belajar banyak tentang kesederhaan setelah 2 tahun struggling memperbaiki kondisi finansialku, alhasil sekarang lebih konsen dengan diri sendiri dibanding ngebanding-bandingin diri sama orang lain.

    Sederhana itu menurutku lebih dari cukup, sesimpel minum kopi dengan tenang, makan nasi sama bawang goreng + telor ceplok aja udah mewah bgt buat aku. Semoga kita selalu diingatkan untuk tetap humble ya, big hug! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Kak Alo!

      Nah, betul banget. Makanya belakangan ini aku filter ulang list following-ku supaya timeline diisi dengan hal-hal yang positif atau yang bikin hepi.

      Kadang memang kesederhanaan sering dihubungkan dengan hal materi, ya. Aku tiap hari juga belajar untuk hidup berkecukupan.

      Thank you for sharing, Kak Alo! Virtual hug! (:

      Delete
  2. hidup sederhana itu relatif sebenernya ya. ukuran sederhana setiap orang pasti beda2. :)
    plus lagi prioritas orang juga beda2. mungkin keliatannya bill gates sederhana dalam berpakaian bukan berarti pakaiannya murah kan? kayak yang komen itu, jas nya bill gates bisa bayar uang kuliah. hahaha. plus lagi mungkin aja katakanlah bajunya emang 'murah' tapi liat dong rumahnya, mobilnya, gadgetnya... hahahaha.

    hidup sederhana kan gak bisa diliat dari baju doang ya... :D

    belum lagi masalah bajunya merk apa. beli di zara apa berarti boros? kalo belinya pas sale ya gak juga. hahaha. atau beli di zara 1 dibanding orang lain beli di matahari tapi 10? jatohnya sama juga pengeluarannya... :D

    intinya gak perlu judgmental sih kalo menurut gua ya. selama kita gak merugikan orang lain, why not beli beli baju yang bagus kalo emang kita suka dan mampu? ya gak... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener, makanya aku mention standar (kesederhanaan) orang lain beda-beda. That's why nggak bisa bilang orang yang pake barang berjuta-juta itu dibandingin dengan Bill Gates, karena kita juga nggak tahu gaya hidup belio. Lagipula, hidup itu nggak melulu soal materi aja ya :D

      Delete
  3. well said mama Josh! kita tuh idup di jaman yang so called serba "dilabelin" ya ... aku manggut - manggut sama komen andra and arman ... talking about sederhana itu bisa ambigu karena balik ke diri sendiri ya, dulu aku pernah dinyinyirin karena pake tas merek tertentu, yah ga tau aja itu boleh dapet hadiah HAHAHAHA ...

    ReplyDelete
  4. btw, koq aku kepo sama youtubernya yaa si GV itu hahaha .. apa aku wa kamu ya hahahaha ... kepo maksimal ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha biasa, deh, orang kan gitu. Aku aja kadang masih suka judgemental sama orang yang nggak dikenal pulak (mostly di sosmed :P). Tapi belajar nggak terlau ngurusin orang lain, kita kan sama-sama berusaha untuk hidup di dunia ini, yak!

      Sok atuh, WA aku aja, ci. Nanti kuberitahu siapa HAHAHA :P

      Delete
  5. Ahh suka bacanya, mari hidup sederhana, penuh syukur dan bahagia. Alhamdulillah..

    ReplyDelete
  6. ia bener banget.. ih sejuk deh baca nya...

    ReplyDelete
  7. Intinya sih, happiness is all in our mind. Kadang kita heran kok itu orang keliatannya sederhana banget tapi happy, sementara ada orang hidup mewah2 tapi mutung dan penuh problema. Lagian sederhana dan mewah itu relatif banget. Kayak aku di sini hidup sederhana dan simpel, tapi kata orang sudah cukup mewah. Cuma pas mamaku dateng liat aku di sini, dia sampai depressed liat aku hidup super simpel (menurut dia). In the end, yang penting kitanya happy dan content dengan hidup kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang cici bilang tentang mama cici, mamaku pun pernah berpendapat yang sama waktu aku dan suami masih tinggal di ruko kecil. Sebelum mamaku ngomong kayak gitu, hidup aku sama suami sebenarnya cukup bahagia.

      Yes, setuju banget. Happiness is is a state of our mind (:

      Delete